Senin, 18 Juli 2011

LAGU PUISI,MUSIC DARI SANUBARI.........

MENGAPA jika puisi kita dinyanyikan cenderung berkesan sendu dan bahkan seperti mencerminkan dunia yang suram? Pertanyaan itu sebetulnya tidak diperuntukkan pada musik sebagai bahasa pembentuk nyanyian, tetapi mempersoalkan kecenderungan puisi-puisi modern kita yang dipenuhi kemurungan di sana-sini. Setelah era Rendra dan kemudian Sutardji Calzoum Bachri tahun 1970-an sampai 1980-an, dimulai dari Sapardi Djoko Damono puisi-puisi yang lahir dari para penyair, seperti tak henti mendedahkan kemurungan.

Terakhir pada Kamis (6/12), cendekiawan dan penyair Mudji Sutrisno meluncurkan kumpulan puisi berjudul Rekah Lembah di Galeri Nasional Jakarta. Peluncuran itu dilengkapi dengan musikalisasi puisi yang menampilkan penyanyi-penyanyi kenamaan, seperti Syaharani dan Sita Nursanti. Setidaknya 12 puisi Mudji digubah ke dalam bentuk lagu yang kalau diperdengarkan seperti membenarkan pandangan pada awal tulisan ini.

Coba simak puisi berjudul “Sunyi” ini: //Aku lahir sendiri/meniti hari sepi/sunyi/tiap kali mengeja/kata hingga berbunyi/agar mati berarti//. Lalu perhatikan puisi lainnya yang berjudul “Di Depan Kematian”: //di depan kematian/kita diajak berhenti sejenak/menekuri hidup yang diselesaikan/mengingati jalanan musafir…//.

Pertanyaan paling dalam yang sedang berkecamuk sekarang ini seolah membenarkan sebuah dalil yang mengatakan: Jika kau ingin memahami suatu bangsa, pahamilah hati para penyairnya! Dan apakah yang sedang disuarakan para penyair kita? Barangkali tidak terlampau sulit menemukan tebaran puisi di berbagai media massa atau buku- buku yang berdebu di perpustakaan, yang di dalamnya menyuarakan tentang keputusasaan, kemalangan, penderitaan, kefrustrasian, nasib buruk, dan segala sesuatu yang berkonotasi suram.
Sejak kelompok penyanyi Bimbo melagukan puisi-puisi Taufik Ismail, kemudian tahun 1980-an sekelompok mahasiswa Universitas Indonesia menyanyikan puisi-puisi Sapardi Djoko Damono, dan diteruskan oleh begitu banyak musikalisasi puisi di daerah-daerah, nada murung dalam puisi selalu begitu dominan.

Mudji Sutrisno boleh beranggapan misinya menyanyikan puisi-puisinya untuk memunculkan satu perayaan bersama tentang keagungan, tentang permenungan, dan tentang segala kebaikan yang ada dalam puisi. Bahkan ia sungguh optimistis dengan musik ia bisa menarik minat remaja-remaja gaul untuk mengenal nilai kebaikan dari puisi. Tetapi ia lupa bahwa puisi-puisi yang kini ditulis dan bahkan belum ditulis oleh para penyair, justru menebarkan keputusasaan yang dalam. Sekali lagi kita baca puisi berjudul “Redup Gempa” yang dinyanyikan oleh Syaharani: //reruntuhan/tak bisa/berkisah lagi/mana limasan/mana joglo/mana rumah sembahyang…//manik manik sayu/matamu/kerontang air mata/sisa sisa patah/sia sia asa//.

Bukankah dalam setiap katanya dipenuhi oleh suara-suara manusia yang kehilangan harapan? Sejak kata “reruntuhan” sampai “sia sia asa”, tak sedikit pun memberikan harapan, apalagi kecerahan. Perayaan bersama, terutama keinginan melibatkan anak-anak remaja gaul, sebagaimana yang diharapkan Mudji Sutrisno, secara tanpa disadari telah menebarkan realitas yang putus asa, seakan masa depan terdiri dari kekalahan demi kekalahan.
Kejujuran
Pada sisi berbeda, karena puisi menyuarakan hati nurani, maka ia bergelimang kejujuran. Ketika para penata musik menangkap musikalitas dalam puisi, maka ia sebenarnya sedang berhadapan dengan kejujuran itu. Para penyair sebagai penangkap ide dan penyampai bahasa puisi, seakan sedang dikulitinya untuk menemukan sesuatu yang hakikat. Sekali lagi dalam kasus puisi-puisi modern Indonesia, para penata musik itu hanya akan berhadapan muka dengan keterpurukan, tak ada keliaran dan cahaya yang menebar optimisme.

Di situlah saatnya kita mengenal puisi secara benar. Bahwa apa yang disuarakan para penyair, bukan hanya representasi-representasi, tetapi sebuah jeritan realitas yang tak terpahami, lantaran melulu dirubung kesedihan. Pertanyaan yang menggayut kemudian memang condong mempersoalkan realitas sosial, ekonomi, politik, dan bahkan hukum yang sedang mengungkung manusia Indonesia. Realitas itu seperti baju besi yang tak gampang menguaknya. Tentu bahasan ini akan terlalu jauh kalau kita meneropong situasi sosial itu dalam kesempatan ini.
Hal yang terpenting untuk diketahui barangkali pertanyaan paling mendasar: mengapa para penyair kita melahirkan puisi-puisi yang pucat pasi? Sebagai manusia yang hidup dalam kancah sosial, penyair “dianugerahi” kepekaan dan rasa empati yang dalam untuk menyuarakan apa yang terjadi dan mengenai dirinya.

“Situasi yang terjadi di Indonesia sulit kita mengerti. Di tengah kegarangan politik dan korupsi, justru para penyairnya bersedih setiap hari,” tutur pemikir kebudayaan asal Perancis, Dr Jean Couteau.
Baiklah, apa pun itu, tentu para penyair tidak bisa dituntut “bertanggung jawab” terhadap apa yang mereka ekspresikan. Demikian pula halnya dengan para penata musik. Mereka bahkan “hanyalah” seorang penafsir yang berusaha tidak menyimpang dari apa yang mereka tangkap dalam puisi. Realitas sosial sebagai ibu kandung dari ide dan permenungan para penyair, itulah yang mesti dibenahi, sehingga menjadi inspirasi yang melahirkan manusia-manusia gembira, manusia-manusia penuh senyum, meski tak menghilangkan kekritisan mereka terhadap realitas sosial itu sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar